Thursday, November 27, 2008

SIRI KEMBALIKAN KEGEMILANGAN AL-AZHAR DI TANAH AIR MALAYSIA



SIRI PERTAMA

SEJARAH Al-AZHAR


Perjalanan panjang Al-Azhar yang kini jelang usia 1000 tahun lebih memang menarik disemak. Sejak dibangunkan pertama kali pada 29 jumada Al Ula 359 H. (970 M.) oleh panglima Jauhar Ash shiqilli lalu dibuka rasmi dan solat jumaat bersama pada 7 Ramadhan 361 H. , lembaga besar yang mulanya sebuah masjid ini bagai tak pernah lelah dalam melahirkan para ulama dan cendekiawan islam. Masjid Al-Azhar sekaligus menjadi institusi pendidikan tertua, itulah penghargaan sejarah buatnya.

Kehadiran Al-Azhar tak dapat dipisahkan dari peranan dinasti Fathimiah yang kala itu dipimpin oleh Khalifah Muâiz li dinillah ma’ad bin Al-Mansur (319-365 H./931-975 M.), Khalifah ke empat dara dinasti fathimiyyah, jauh sebelumnya ketika islam mulai menyebar ke mesir (641 M.) dimasa khalifah umar bin khattab, pendidikan islam formal sebenarnya telah berjalan sejak berdirinya masjid pertama di Afrika.
Sudah menjadi suatu kaedah tak tertulis bahawa peradaban islam di suatu daerah selalu dikaitkan dengan peran masjid jamiâ (masjid negara) dikawasan tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata rasulallah SAW. Ketika hijrah ke madinah. Tugas pertama yang Baginda lakukan adalah membangun masjid nabawi. Ini menandakan peranan masjid yang tidak hanya terbatas pada kegiatan ibadat semata-mata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah pusat pemerintahan islam, prasarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan fatwa, dan sebagainya.

Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh Amru bin Ash ketika menguasai mesir. Atas perintah Khalifah Umar, panglima amru mendirikan masjid pertama di Afrika yang kemudian dinamakan masjid Amru bin Ash di kota Fushthat, sekaligus menjadi pusat pemerintahan islam mesir ketika itu, selanjutnya dimasa dinasti Abbasiyah ibu kota pemerintahan ini berpindah lagi ke kota yang disebut Al-Qothoâi dan ditandai dengan pembangunan masjid bernama Ahmad bin Tholun.

Masa demi masa berlalu, pemeriuntahan pun silih berganti. Tiba era Daulah Fathimiyyah (358 H./969 M.) ibukota mesir berpindah ke Daerah baru atas perintah Khalifah Al-Muâiz li Dinillah yang menugasi panglimanya, Jauhar Ash shiqilli, untuk membangun pusat pemerintahan. Setelah melalui tahap pembangunan daerah ini dinamai kota Al Qohirah.

Sebagaimana sejarah islam masa lalu, setiap berganti Daulah selalu ditandai dengan pembangunan masjid di pusat ibu kota. Sehingga kurang setahun kemudian, beriringan dengan pembangunan kota Al-Qohirah didirikan pula sebuah masjid bernama Jamiâ Al Qohirah (meniru nama ibu kota). Seluruhnya masih dalam penanganan panlima Jauhar Asg Shiqilli.

Pada masa khalifah Al Aziz billah, sekeliling Jamiâ Al Qohirah dibangun beberapa istana yang disebut Al Qushur Az Zahirah. Istana-istana ini sebagian besar berada disebelah timur (kini sebelah barat masjid husein), sedangkan beberapa sisanya yang kecil disebelah barat (dekat masjid Al Azhar sekarang), kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah. Keseluruhan daerah ini dikenal dengan sebutan Madinatul Fatimiyyin Al-Mulukiyyahâ. Kondisi sekitar yang begitu indah bercahaya ini mendorong orang menyebut Jamiâ Al Qohirah dengan sebutan baru, Jamiâ Al Azhar (Berasal dari kata Zahraâ ertinya yang bersinar, bercahaya, berkilauan).
Para khalifah jauh-jauh hari menyadari bahwa kelanjutan Al-Azhar tidak bias lepas dari segi pendanaan. Oleh kerana itu setiap khalifah memberikan harta wakaf baik dari harta peribadi mahupun harta negara. Pengasas pertama wakaf bagi bagi Al-Azhar dipelopori oleh khalifah Al Hakim bi amrillah, lalu di ikuti oleh para khalifah berikutnya serta orang orang kaya setempat dan seluruh dunia islam sampai saat ini. Harta wakaf tersebut kabarnya pernah mencapai sepertiga dari kekayaan mesir. Dari harta wakaf inilah roda perjalanan Al Azhar kuat dan terus berputar, termasuk memberikan biasiswa, asrama , dan pengiriman utusan Al Azhar ke berbagai penjuru Dunia.

Dari masjid Amru bin Ash dan Ahmad bin Tholun, proses pendidikan berpindah ke Al-Azhar.

FASA PERALIHAN

Seolah-olah menjadi perjanjian tak tertulis, pada setiap khalifah Daulah Fathimiyyah selalu diadakan restorasi bangunan Jamiâ Al Azhar. Hingga ketika gempa hebat yang merosakkan Al Azhar pada tahun 1303 M. Sultan An Nasir yang memerintah saat itu segera memperbaiki kembali bangunan yang rosak.
Ciri spesifik pemugaran bangunan mulai tampak pada masa sultan Qonsouh (1509 M.) yang merestorasi satu menara Al Azhar nan indah dengan dua puncak (Manaratul Azhar Dzatu Ar-raâsain).

Penyempurnaan Jamiâ Al Azhar kembali dilanjutkan pada peringkat pemerintahan Daulah Utsmani, dengan kegiatan restorasi yang tak jauh berbeda seperti sebelumnya. Klimaksnya dicapai pada masa Amir Abdurrahman Katakhda (Wafat 1776 M.) dengan menambahkan dua buah menara, mengganti mihrab dan mimbar baru, membuka tempat belajar bagi yatim piatu, membangun ruang bagi penempatan mahasiswa dan pelajar asing, membuat ruang tamu, teras tak beratap dalam masjid, dan tangki air tempat berwuduk, pendek kata hampir seluruh bangunan tua yang masih tersisa di masjid Al Azhar kini adalah hasil karya Amir tersebut.

Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini, selain sebagai masjid, proses penyebaran faham Syiah turut mewarnai aktiviti awal yang dilakukan Dinasti Fathimi, khususnya di penghujung masa khalifah Al Muiz li Dinillah ketika Qodhil Qudhoh Abu Hasan Ali bin Nuâman Al-Qairiwani mengajarkan fiqih Mazhab Syiah, dari kitab Mukhtasyar yang merupakan pelajaran agama pertama di Masjid Al Azhar pada bulan Safar 365 H. (Oktober 975 M.).
Sesudah itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada ilmu-ilmu agama dan bahasa, walaupun tanpa mengurangi perhatian terhadap ilmu manthiq, filsafat kedoktoran dan ilmu falak sebagai tambahan yang diikutsertakan.

Namun semenjak Shalahuddin Al Ayyubi memegang pemerintahan mesir (tahun 567 H./1171 M.), Al Azhar sempat diberhentikan sementara waktu sambil dibentuk lembaga pendidikan Alternatif untuk mengikis pengaruh Syiah. Disinilah mulai dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari Mazhab Syiah ke Mazhab Sunni yang berlaku hingga sekarang.




FASE REFORMASI


Pembaharuan Administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sulthan Ad Dhahir Barquq (784 H./1382 M.) dimana ia mengangkat Amir Bahadir At Thawasyi sebagai Direktor pertama Al Azhar tahun 784 H. / 1382 M. ini terjadi dalam masa kekuasaan mamalik di Mesir. Usaha ini merupakan usaha awal untuk menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.

Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai mesir dipenghujung abad 11 H. Ditandai dengan jawatan Syeikh Al-Azhar Umumnya yang digelar dengan Syeikh Al Azhar sebegai figure sentral yang mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum, termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syeikh Muhammad Al Khurasyi (1010 H.-1101 H.) Sebagai Syeikh Al Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 40 Syeikh yang telah memimpin Al Azhar selam 43 periode, hingga kini dipegang oleh mantan mufti mesir Syeikh Muhammad Thanthawi.

Masa keemasan Al Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.) banyak ilmuan dan ulama islam bermunculan di Al Azhar saat itu, seperti ibnu khaldun, Al farisi, As-Syuyuthi, Al Aini, Al Khawi, Abdul Lathif Al Baghdadi, ibnu Khaliqon, Al Maqrizi dan lainnya yang banyak mewariskan ensiklopedi Arab.

Iklim kemunduran kembali hadir ketika dinasti Utsmani berkuasa di Mesir (1517-1798 M.) Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para ulama dan mahasiswa yang berunsur unsur meninggalkan Cairo. Meskipun begitu tambahan berbagai bangunan tetap diusahakan oleh amir Utsmani dan kaum muslimin sedunia.

Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap berikutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern sekular, ia juga berusaha menjalankan peranan Al Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai badan Wakaf Al Azhar yang merupakan urat nadinya. Seterusnya pada masa pemerintahan Khedive Ismail Pasha (1863-1879 M.) mulai diusahakan reorganisasi pendidikan, dan dari sini pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern sekular. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al Azhar sebagai pusat pendidikan islam terpenting.

Sejak awal abad 19, sistem pendidikan barat mulai diterapkan di sekolah sekolah mesir. Sementara Al Azhar masih saja menggunakan sistem tradisional. Dari sini muncul suara pembaharuan.

Diantara pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya system ujian untuk mendapatkan ijazah Al Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada februeri 1872 M., juga pada tahun 1896 M., buat pertama kali dibentuk Idarah Al Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membahagi masa belajar di Al Azhar menjadi dua penggal: pendidikan Dasar 8 tahun serta menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum Al Azhaar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al Ulum Al Manqulah (Bidang study Agama) Al â€Ulum Al Manqulah (Bidang study Umum).

Menyebut pembaharuan di Al Azhar, kita perlu ingat sumbangan Muhammad Abduh (1849-1905 M.) mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern kedalam kurikulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang disepakati Syekh Muhammad Al Ambabi. Baru ketika Syekh An Nawawi memimpin Al Azhar, Muhammad Abduh juga berpengaruh. Beransur-ansur mulai diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Huraian pelajaran yang dikenal dengan syarah al hawasyi disederhanakan. Sementara itu kurikulum seperti fisikologi, ilmu mantiq, falsafah, sosiologi dan sejarah, telah bercambah di Al Azhar. Kesinambunagan ini pula dipelajari di ruang Al Azhar sebagai penempatan bagi guru dan mahasiswa.


UNIVERSITI AL AZHAR KINI

Pada abad ke-21 ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitihan yang dilakukan oleh Universiti di Barat, dan mengirim Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropah dan Amerika. Tujuan mengirim ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah diperinkat antarabangsa sekaligus membawa perbandingan dan pengukuhan pemahaman islam yang benar. Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih pangkat Ph.D dari Universiti luar tersebut, diantaranya ialah: Syeikh DR. Abdul Halim Mahmud, Syeikh DR. Muhammad Al Bahy, Dan banyak lagi.

Sebelumnya, pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membahagi Universiti Al Azhar menjadi tiga fakulti yaitu: Syariah, Usuluddin dan Bahasa Arab.

Fakulti induk Syariah dan Undang-undang di Kaherah merupakan bangunan pertama yang berdiri pada tahun 1930 M lalu pada tahun 1961 diubah menjadi nama seperti sekarang. Fakulti induk Usuluddin dan bahasa Arab di Kaherah juga didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur kembali pada tahun 1961 M. fakulti Dakwah islamiyyah didirikan dengan keputusan presiden (keppres) no 380 tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 Ramadhan 1398 H. (20 Ogos 1978). Fakulti Dirasah Islamiyah wal Arabiyah memulakan kuliahnya pada tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan dari Fakulti Syariah. Pada tahun 1972 keluar keppres no 7 yang menjadikan fakulti ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama Ma’had Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keppres no 299 yang kembali menjadikan institut ini sebagai fakulti tersendiri, dengan jurusan: usuluddin syariah islamiyah, bahasa dan sastera Arab.

Angin pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. Ketika kepimpinan Syeikh Mahmoud Syalthout. Peranan Syeikh Al Azhar dimainkan sebagai jabatan simbolik sehingga kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang pembaharuan ini disebut undang-undang revolusi mesir nombor 103 tahun 1961 M. undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan sistem pendidikan di Al Azhar, sehingga diantaranya membolehkan lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan pelajarannya ke SMP atau SMA milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam ruang lingkup pendidikan tinggi, disamping fakulti-fakulti keislaman, ditambahkan pula berbagai fakulti baru seperti: Tarbiyah, Kedoktoran, Perdagangan,Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. Juga dibangun fakulti khusus puteri (Kulliyatul Banat) dengan berbagai jurusan.

Al Azhar mempunyai 3 rumah Hospital: Husein Hospital, Zahra’ Hospital, dan Bab el Syariah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission City (Madinat Nasser Lil Bu’ust Al Islamiyah) untuk orang asing dibuka pada bulan September 1959 M.

Universiti (Jamiâah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga rasmi yang dimiliki Al Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid A Azhariyah).
Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al Islamiyah).
Majlis tinggi Al Azhar (Al Majlis Al A’la Lil Azhar)
Lembaga Riset Islam (Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah).
Hai’ah Ighatsah Al Islamiyah.

Sejak mula berdirinya, pengajiam Al Azhar terus terbuka untuk semua pelajar dari seluruh dunia, hingga kini Universiti Al Azhar memiliki lebih dari 50 Fakulti yang tersebar diseluruh pelosok mesir dengan jumlah Mahasiswa/i melebihi angka 200 ribu orang. Itulah sejarah Al Azhar yang tetap teguh dan kukuh hingga kini.

No comments: